JAKARTA, - Masih minimnya peran warga negara Indonesia
non militer dalam memberikan kontribusi ilmu mereka di dunia misi PBB membuat
Kementerian Luar Negeri RI angkat bicara.
Sebagaimana informasi yang diterima melalui email Kementerian
Luar Negeri telah menyelenggarakan Roundtable Discussion dengan tema
“Developing National Mechanism for Civilian Capacity in the Aftermath of
Conflict”
Melalui acara yang difasilitasi Direktorat Keamanan
Internasional dan Perlucutan Senjata ini telah dilakukan tukar pikiran dan
berbagi pengalaman antara Indonesia dengan PBB dan sejumlah institusi yang
bergerak dalam pengiriman pakar-pakar sipil ke misi-misi perdamaian PBB dan
juga negara-negara yang baru pulih dari konflik, yaitu wakil dari Justice Rapid
Response (JRR) dan Folke Bernadotte Academy.
Roundtable Discussion yang dibuka oleh Acting Direktur
Jenderal Multilateral tersebut telah dihadiri oleh para peserta dari
Kementerian Luar Negeri dan sejumlah Kementerian dan Lembaga, Staf Ahli bidang
Manajemen- Kemlu, dan wakil-wakil dari UNDP, Direktorat Kerjasama Teknis.
Diskusi telah mampu mengidentifikasi sejumlah
kepakaran sipil yang menjadi keunggulan Indonesia (niche capacities), antara
lain di berbagai bidang di bawah tujuh
flagship program kerjasama teknis, terutama di bidang mediasi dan pencegahan
konflik, good governance, demokrasi, penyelenggaraan pemilihan umum, demokrasi
dan pemajuan HAM, pembangunan kembali infrastruktur, pertanian, dan pendidikan,
yang selama ini telah dilaksanakan oleh Indonesia melalui kerangka Kerja Sama
Selatan-Selatan dan Triangular (KSST).
Diskusi juga telah menggarisbawahi adanya kebutuhan
dan peluang bagi kehadiran dan pengiriman pakar-pakar sipil dari negara-negara
Global South, khususnya dari Indonesia, melalui skema secondment pada misi-misi
PBB di bawah mekanisme Government Provided Personnel (GPP), untuk periode
penugasan selama satu tahun.
Diskusi telah mencatat pula potensi peluang kontribusi
pakar-pakar sipil Indonesia yang memiliki keahlian di bidang penegakan hukum
dan pengelolaan lembaga pemasyarakatan/LP (correction officers), yang sejauh
ini seringkali diminta oleh PBB untuk ditempatkan di berbagai misi PBB.
Untuk itu, diskusi juga telah menggarisbawahi
pentingnya dibentuk suatu mekanisme nasional, misalnya di bawah kerangka Tim
Koordinasi Misi Pemeliharaan Perdamaian (TKMPP), untuk mengoordinasikan proses
seleksi dan nominasi serta pengiriman para pakar sipil Indonesia ke berbagai
misi PBB.
Selain itu, telah ditekankan pula pentingnya kemitraan
(partnership) antara Indonesia dengan berbagai institusi pengiriman pakar-pakar
sipil dari sejumlah negara, khususnya untuk menjajaki peluang-peluang kerjasama
pelatihan untuk memperkuat kapasitas dan kredensial para pakar sipil Indonesia.
Roundtable discussion berhasil mengidentifikasi
berbagai peluang dan tantangan dalam menyusun pola karir Pegawai Negeri Sipil
(PNS) Indonesia yang nantinya dikirimkan ke misi-misi PBB di bawah mekanisme
GPP, termasuk memastikan agar PNS dengan keahlian khusus yang dibutuhkan
(skill-set) di misi pemeliharan perdamaian dan bina perdamaian (peacebuilding)
mendapatkan insentif yang memadai dan dijamin pemenuhan hak-hak kepegawaiannya
selama penugasan di misi PBB dan pasca penugasan.
Pengiriman para pakar sipil Indonesia nantinya
diharapkan dapat mendukung realisasi Vision 4,000 peacekeepers yang akan
memberikan kesempatan kepada para pakar sipil bertugas bersama-sama dengan
personel militer dan kepolisian pada berbagai misi pemeliharaan perdamaian PBB.
Kontak Blog > ervanca@gmail.com
Twitter.com/Lorcasz