twitter.com/SRSGVAC |
JAKARTA, - Perwakilan Khusus
Sekretaris Jenderal PBB untuk Kekerasan Terhadap Anak, Marta Santos
menyampaikan penghargaan kepada Pemerintah Indonesia yang telah menyertakan
upaya mengatasi kekerasan terhadap anak
di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019.
“Kekerasan terhadap anak
adalah fenomena global. Ini terjadi di semua negara di seluruh lapisan
masyarakat, termasuk di Indonesia. Kekerasan terhadap anak sering kali tersembunyi,
dan di banyak kasus dibenarkan. Tapi saya ingin memperjelas satu hal,” ucapnya
Marta juga mengatakan bahwa
kekerasan terhadap anak tidak pernah bisa dibenarkan dan semua kekerasan
terhadap anak juga bisa dihindari secara efektif.
“Kekerasan terhadap anak
tidak pernah bisa dibenarkan dan semua kekerasan terhadap anak bisa dihindari
secara efektif. Dengan kemauan politik yang kuat, mobilisasi yang luas, dan
tindakan yang tegas, kekerasan terhadap anak bisa diakhiri.”ucapnya
Sebagaimana informasi yang
diberikan UNIC Jakarta melalui email mengatakan dalam kunjungannya selama
seminggu di Jakarta, Santos Pais mendorong Pemerintah untuk membangun mekanisme
yang kuat untuk memastikan implementasi tujuan-tujuan RPJMN yang efektif dan
sistem akuntabilitas dan pengawasan yang jelas, serta mengalokasikan anggaran
yang memadai di semua sektor dalam upaya
mencegah dan menangani kekerasan
terhadap anak di Indonesia.
Dia juga menyatakan
harapannya bahwa Indonesia akan berada di garis depan gerakan menghapus
kekerasan terhadap anak, yang akan menjadi bagian penting dalam Sustainable
Development Goals (SDG) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Draf SDG menyertakan
beberapa target yang bertujuan untuk mengakhiri kekerasan terhadap anak
perempuan dan laki-laki, termasuk praktek-praktek yang membahayakan anak
seperti perkawinan usia anak dan mutilasi
alat kelamin perempuan.
“Saya ingin mengundang
Indonesia untuk mengambil posisi pemimpin dan menjadi menara suardi kawasan ini
dalam membentuk kebijakan dan agenda keseluruhan untuk mengakhiri kekerasan
terhadap anak,” ujarnya.
Untuk mencapai tujuan ini, Santos
Pais merekomendasikan penyelesaian dari Strategi dan Rencana Aksi Nasional
tentang kekerasan terhadap anak, dengan menggarisbawahi bahwa 90 negara di
dunia telah memiliki strategi dan rencana aksi tentang hal ini.
Bagian penting dari
kesuksesan langkah ini adalah dengan melibatkan orang muda atau anak-anak dalam
pengembangan dan implementasinya.
Lebih lanjut, dirinya
menyambut langkah Indonesia yang telah melarang segala bentuk kekerasan
terhadap anak termasuk di institusi, di masyarakat, dan di sekolah.
Namun, dirinya menyayangkan
bahwa sampai saat ini belum ada undang-undang yang secara jelas melarang hukuman
fisik di dalam rumah tangga.
Dia mendorong Pemerintah
untuk bergabung dengan 45 negara yang telah memiliki undang-undang yang secara
komprehensif melarang kekerasan terhadap anak dalam bentuk apapun.
Mengacu pada pelajaran yang
didapatkan dari negara lain, Santos Pais menekankan pentingnya memulai
pembahasan terbuka di masyarakat tentang dampak negatif dari kekerasan terhadap
anak dengan mengambil contoh tindakan yang dilakukan Swedia
“Misalnya di Swedia – yang
merupakan negara pertama yang melarang kekerasan terhadap anak di tahun 1979 –
perundang-undangan yang baru disertai dengan diskusi yang intensif tentang
bagaimana perilaku kekerasan terhadap anak bisa dihindari. Lebih jauh lagi,
keluarga membutuhkan dukungan untuk mengetahui bagaimana membesarkan anak
dengan baik tanpa menggunakan kekerasan,” ujarnya.
Saat ini tidak ada data
nasional yang memberikan gambaran seberapa parahnya kekerasan terhadap anak di
Indonesia.
Namun studi yang telah ada
menunjukkan bahwa kekerasan adalah realitas yang tersembunyi yang dialami oleh
banyak sekali dari seluruh anak Indonesia yang berjumlah 80 juta orang.
Menurut Global School-based
Student Health Survey (GSHS), atau survei kesehatan global berbasis sekolah, di
tahun 2007 sekitar 40 persen murid berusia 13-15 tahun di Indonesia melaporkan
telah diserang secara fisik selama 12 bulan terakhir di sekolah mereka.
Ini adalah salah satu angka
yang tertinggi di Indonesia. Setengah dari anak-anak yang disurvei melaporkan
telah mengalami perundungan (bully) di sekolah, sementara 56 persen anak
laki-laki dan 29 persen anak perempuan di institusi – termasuk panti asuhan,
pusat rehabilitasi, pesantren dan asrama serta tempat tahanan anak-anak –
melaporkan telah mengalami kekerasan fisik.
Namun hanya sedikit dari
anak-anak yang menjadi korban kekerasan di Indonesia mendapatkan bantuan
profesional.
Selama kunjungannya ke
Indonesia yang dimulai hari Senin, Marta Santos Pais telah bertemu dengan
anggota DPR Ledia Hanifa dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Andrinof
Chaniago.
Dirinya juga berpartisipasi
dalam diskusi tentang kekerasan terhadap anak bersama perwakilan dari BAPPENAS.
Dia juga berbicara di Universitas Indonesia dan bertemu dengan beberapa
organisasi kemasyarakatan serta organisasi orang muda.
Pada hari Jumat dia akan
berpartisipasi dalam dialog bersama ASEAN Commission on the Rights of Women and
Children (Komisi ASEAN tentang Hak Perempuan dan Anak).
Sebagai informasi Marta
Santos Pais ditunjuk menjadi Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal dalam hal
Kekerasan terhadap Anak pada bulan September 2009.
Dengan lebih dari 30 tahun
pengalaman di bidang hak asasi manusia, dan keterlibatan di Persatuan
Bangsa-Bangsa serta proses antar-pemerintahan, dia memajukan tindakan
pencegahan dan mengakhiri semua bentuk kekerasan terhadap anak di sistem
peradilan, rumah tangga, tempat rawatan alternatif, sekolah serta masyarakat.
Sebelum pengangkatannya ke
posisi Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal dalam hal Kekerasan Terhadap Anak,
Marta Santos Pais adalah direktur UNICEF Innocenti Research Centre sejak 2001.
Dia bergabung dengan UNICEF
pada tahun 1997 sebagai Direktur Evaluasi, Kebijakan dan Perencanaan.
Sebelumnya dia adalah Rapporteur dari Komite Hak-hak Anak dan Wakil Ketua
Komite Koordinasi Kebijakan Anak di Dewan Eropa.
Kontak Blog >
ervanca@gmail.com
Twitter.com/CatatanLorcasz