JAKARTA, - Afrika yang
selama ini selalu identic dengan kemiskinan, kelaparan dan kekeringan sudah
tidak ada lagi bahkan saat ini bisa dikatakan sebagai benua dengan pertumbuhan
ekonomi tercepat di dunia.
Hal ini disampaikan Duta
Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Namibia merangkap Angola,
Agustinus Sumartono, berbicara mengenai diplomasi ekonomi di benua Afrika
disela-sela Raker Keppri (4/2) yang berlangsung di Jakarta.
Dok. Kemlu RI |
Sebagaimana dilansir dari
laman Kemlu RI, Dubes Sumartono mengatakan tantangan utama diplomasi ekonomi di
benua Afrika secara umum adalah mengubah mindset pengusaha Indonesia mengenai
Afrika; bahwa benua Afrika bukan lagi benua yang identik dengan kemiskinan,
kelaparan dan kekeringan, namun sudah menjelma menjadi benua dengan pertumbuhan
tercepat di dunia.
“Sebenarnya peluang ekonomi
di Namibia dan Angola untuk para pengusaha Indonesia itu terbuka sangat luas,
KBRI Windhoek akan senantiasa memfasilitasi peluang-peluang kerja sama ini,
yang paling penting mindset mengenai Afrika itu harus dirubah terlebih dahulu,
dan harus ada keseriusan para pengusaha untuk follow up dan maintain kerja
sama” ucap sDubes Sumartono.
Dari 47 negara Afrika
Sub-Sahara, Indonesia telah menjalin hubungan diplomatik dengan 43 negara.
Kerja sama terjalin melalui KAA, GNB, Selatan-Selatan serta berbagai forum
internasional.
Hubungan Indonesia dengan
Namibia dan Angola terjalin dengan baik. Indonesia memiliki hubungan sejarah
khusus dengan Namibia, yakni dukungan kuat dari Indonesia untuk kemerdekaan
Namibia pada Maret 1990.
Kawasan selatan benua Afrika,
yang terdiri dari 15 negara dan kurang lebih 260 juta penduduk, menyimpan
banyak potensi yang dapat dimanfaatkan Indonesia untuk bisa mengembangkan kerja
sama ekonomi, sosial dan budaya.
Namibia, negara yang memilki
ibu kota Windhoek ini, tercatat sebagai salah satu motor penggerak kawasan
selatan Afrika, sektor pertambangan (berlian, timah, zinc dan tembaga)
menyumbang 25% GDP Namibia. Namibia juga merupakan negara ke-4 pengekspor
uranium terbesar di dunia.
Proyek Tambang Husab (The
Husab Uranium Project) yang terletak di dekat kota Swakopmund memiliki potensi
untuk menghasilkan 15 juta pound (6800 ton) uranium oksida per tahun. Pada saat
proyek ini selesai pada Oktober 2015 nanti, Namibia akan menjadi penghasil
penghasil uranium terbesar setelah Kazakhstan.
Sedangkan Angola adalah
produsen minyak terbesar kedua di Sub-Sahara Afrika, setelah Nigeria. Negara
ini mengalami booming produksi minyak antara tahun 2002 dan 2008.
Indonesia telah memiliki
skema kerjasama bilateral yang dibuat dengan Anggola yang dibuat 31 Oktober
2014. Negara ini juga potensi pasar untuk produk nonmigas Indonesia.
Melihat besarnya potensi
ini, menurut Dubes Sumartono para pengusaha Indonesia harus mulai menggarap
serius pasar non-tradisional di Afrika, baik melalui kementerian ataupun
asosiasi terkait.
Produk Indonesia kini
diharapkan tidak lagi terfokus pada pasar tradisional seperti benua Amerika dan
Eropa, karena di pasar tersebut sudah banyak produk Indonesia dan pesaingnya.
KBRI Windhoek dalam
mendukung produk Indonesia secara aktif melakukan promosi melalui keikutsertaan
dalam pameran-pameran perdagangan yang besar dan membuat peragaan untuk
produk-produk Indonesia.
Salah satunya adalah Feira
Internacional de Luanda (FIL) yang merupakan pameran internasional consumer
goods tahunan terbesar yang diadakan di Luanda, ibu kota Angola. Produk Indonesia sangat diminati karena
memiliki kualitas yang sangat baik dan variasi yang banyak.
KBRI Windhoek juga banyak
bekerja sama dengan pemerintah di kedua negara untuk memperkuat hubungan
bilateral dalam berbagai bidang, baik ekonomi, sosial budaya maupun politik.
Termasuk dalam capacity building, sebagai contoh dalam hal penyelenggaraan
konferensi. Namibia dan Angola membutuhkan pelatihan untuk keprotokoleran dan
kekonsuleran.
Kontak Blog >
ervanca@gmail.com
Twitter.com/CatatanLorcasz