JAKARTA, - Para anggota parlemen di negara-negara Asia Pasifik sepakat
meningkatkan perlindungan hak asasi manusia (HAM) bagi warga negaranya lewat
komitmen bersama yang dinyatakan dalam sebuah seminar internasional HAM di
Manila, Filipina. Hukum tetaplah harus berbasis HAM.
Sebagaimana dilansir dari
laman resmi DPR, seminar yang berlangsung beberapa waktu lalu itu, merupakan
hasil kerja sama antara Inter-Parliamentary Union (IPU), Office of the United
Nations High Commisioner (OHCHR), dan Senat Filipina.
Delegasi DPR RI diwakili
Wakil Ketua DPR Agus Hermanto dan dua anggota BKSAP DPR RI, Vanda Sarundajang
(FPDI-P) dan Nihayatul Wafiroh (FPKB).
Acara ini juga bertepatan
dengan komemorasi 29 tahun Revolusi EDSA yang merupakan salah satu tonggak
sejarah perjuangan HAM di Filipina.
Melalui revolusi damai,
rakyat Filipina menumbangkan pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos dan
menegakkan demokrasi di negaranya. Seminar ini sendiri bertajuk “Translating
international human rights commitments into national realities: the
contribution of parliaments to the work of the United Nations Human Rights
Council”.
Dalam seminar tersebut
terungkap, parlemen memegang peranan yang sangat besar bagi upaya perlindungan
dan pemajuan HAM di tingkat nasional.
Pemerintahan di
masing-masing negara sangat bergantung pada kerangka hukum yang dirumuskan
parlemen sebagai rujukan untuk menerapkan HAM. Tanpa hukum yang berbasis HAM,
upaya pemajuan dan perlindungan HAM tidak memiliki dasar yang berarti.
Parlemen perlu memberi
dukungan dengan meningkatkan kualitas produk legislasi, pengawasan, hingga
anggarannya. Parlemen harus terus mengupayakan kesesuaian hukum nasional dengan
komitmen internasional yang telah disepakati melalui ratifikasi
instrumen-instrumen internasional terkait HAM.
Agus Hermanto dalam
pertemuan tersebut menyampaikan bahwa Indonesia merupakan salah satu founding
members Dewan HAM dan sampai saat ini menjadi negara anggota Dewan HAM.
Di Asia Tenggara, Indonesia
telah mendorong terbentuknya ASEAN Inter-governmental Commission on Human
Rights (AICHR) yang saat ini merupakan satu-satunya mekanisme regional pemajuan
dan perlindungan HAM.
Sementara itu, Nihayatul
Wafiroh yang diminta menjadi moderator dalam sesi tentang pemajuan hak-hak
perempuan, menyampaikan, isu-isu seperti KDRT, hak-hak reproduksi,
ketidaksetaraan gaji, kesempatan menduduki posisi pemangku keputusan, gender
stereotipe, akses terbatas bagi pemilikan properti dan aset produktif, masih
menjadi tantangan bersama yang umum dihadapi perempuan di Asia Pasifik.
Sedangkan anggota Dewan Vanda
Sarundajang juga menyampaikan, saat ini DPR RI sedang membahas RUU Keadilan dan
Kesetaraan Gender (KKG).
Dalam perjalanannya, konsep
gender yang diusung KKG menghadapi tantangan konstruksi sosial yang mengakar
pada keberagaman adat, budaya, dan norma yang berlaku di masyarakat.
Vanda juga berharap dapat
berbagi pengalaman dan mendapat masukan dari refleksi pengalaman parlemen
negara-negara lain dalam menghadapi tantangan serupa.
Sebagai informasi, seminar
ini dihadiri 18 parlemen negara-negara Asia Pasifik yang menjadi anggota IPU,
yaitu Afganistan, Bangladesh, Bhutan, Fiji, Filipina, Indonesia, Iran, Kamboja,
Malaysia, Maldives, Myanmar, Micronesia, Pakistan, Palau, Papua Nugini, Samoa,
Selandia Baru, dan Timor Leste.
Acara dihadiri pula
badan-badan PBB yang membidangi HAM yaitu, OHCHR dan UN Human Rights. Selain
itu hadir pula perwakilan institusi HAM nasional dan regional, dan perwakilan
civil society organization antara lain Amnesty International, Freidrich Naumann
Foundation for Freedom, dan Philippine Center for Islam and Democracy.
Kontak Blog >
ervanca@gmail.com
Twitter.com/CatatanLorcasz