Sabtu, 01 November 2014

Melihat Dari Dekat Hutan Rakyat

Dok. Lorcasz
GUNUNG KIDUL – Mendengar kata Gunung Kidul spontan terlintas daerah yang gersang dengan tingkat panas yang luar biasa namun saat ini kawasan tersebut sudah berubah dari kesan negative tersebut.

Cuaca sangat panas dengan kekeringan yang panjang membuat masyarakat di kawasan tersebut sadar untuk mengubah sesuatu menjadi berarti dengan cara merehabilitasi sekitar 472 hektare dari total luas wilayah tersebut yang terdapat di Desa Semoyo yaitu 572,6 hektare.

Para warga di desan ini mengelola tanaman kayu menjadi tabungan yang digunakan sebagai biaya anak sekolah dan pernikahan. Kayu yang digunakan adalah jenis jati, sonokeling, mahoni, sengon dan akasia.

Untuk memanen kayu ini mereka mengenalnya dengan sebutan tebang butuh, dimana para warga ini akan menebang pohon kepunyaan mereka jika mereka sangat-sangat membutuhkan untuk kebutuhan sehari-hari.

Apa yang dilakukan oleh warga Desa Semoyo tersebut disaksikan langsung para peserta pelatihan REDD+ Academy yang diadakan PBB bersama dengan agensi-agensi mereka seperti UNORCHID, UNDP, FAO, UNEP.

Menurut Ketua Serikat Petani Pembaru Desa Semoyo, Mugi Riyanto bahwa teknik tebang butuh ini dimaksudkan untuk menghentikan ancaman dari pelestarian dan tidak tergantung dari pohon tersebut dengan cara mencari pekerjaan diluar tersebut.

“Ancaman dari pelestarian hutan rakyat sebenarnya adalah pemilik lahan itu sendiri. Kendati tekniknya adalah tebang butuh tapi kebutuhannya itu mengancam upaya rehabilitasi jika terus-terusan dilakukan,” ucapnya.

Apa yang dikatakan Mugi Riyanto diiyakan oleh Bupati Gunung Kidul, Badingah dimana bahwa rehabilitasi hutan harus dilakukan dengan dua pendekatan yaitu social-ekonomi dan budaya, itu semua melibatkan masyarakat.

Bupati Badingah juga mengatakan bahwa pihaknya terus mendorongkan agar masyarakat di wilayahnya untuk melakukan pelestarian hutan tentunya juga dengan sosialisasi dan penyadaran kepada masyarakat.

Sementara itu Seksi Pemanfaatan Hutan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunung Kidul, Taufik mengatakan puncak dari ketandusan di wilayahnya terjadi pada tahun 1964 karena hutan dulunya terbuka untuk ditanam kopi disaat pemerintahan Belanda namun hasilnya tidak sesuai harapan pasar berujung ditinggal begitu saja lahan tersebut hingga menjadi kering.

Acara REDD+ Academy ini tidak hanya diikuti oleh para jurnalis tetapi juga penggiat lingkungan hidup dari berbagai sector yang berada di kawasan Asia Pasific.

REDD+ sendiri adalah program kolaborasi yang dibentuk oleh PBB dalam usahanya mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) di negara-negara berkembang.

Program ini dibentuk pada tahun 2008 dan dibangun di atas peran serta para ahli dari Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO), Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) dan Badan Program Lingkungan PBB (UNEP).


Program UN-REDD mendukung proses nasional yang dipimpin REDD+ dan mempromosikan keterlibatan yang sarat informasi dan bermakna dari semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat dan masyarakat yang bergantung pada hutan lainnya, dalam implementasi REDD+ baik secara nasional maupun internasional.