Dok. Lorcasz |
Cuaca sangat panas dengan kekeringan yang panjang
membuat masyarakat di kawasan tersebut sadar untuk mengubah sesuatu menjadi
berarti dengan cara merehabilitasi sekitar 472 hektare dari total luas wilayah
tersebut yang terdapat di Desa Semoyo yaitu 572,6 hektare.
Para warga di desan ini mengelola tanaman kayu menjadi
tabungan yang digunakan sebagai biaya anak sekolah dan pernikahan. Kayu yang
digunakan adalah jenis jati, sonokeling, mahoni, sengon dan akasia.
Untuk memanen kayu ini mereka mengenalnya dengan
sebutan tebang butuh, dimana para warga ini akan menebang pohon kepunyaan
mereka jika mereka sangat-sangat membutuhkan untuk kebutuhan sehari-hari.
Apa yang dilakukan oleh warga Desa Semoyo tersebut
disaksikan langsung para peserta pelatihan REDD+ Academy yang diadakan PBB
bersama dengan agensi-agensi mereka seperti UNORCHID, UNDP, FAO, UNEP.
Menurut Ketua Serikat Petani Pembaru Desa Semoyo, Mugi
Riyanto bahwa teknik tebang butuh ini dimaksudkan untuk menghentikan ancaman
dari pelestarian dan tidak tergantung dari pohon tersebut dengan cara mencari
pekerjaan diluar tersebut.
“Ancaman dari pelestarian hutan rakyat sebenarnya
adalah pemilik lahan itu sendiri. Kendati tekniknya adalah tebang butuh tapi
kebutuhannya itu mengancam upaya rehabilitasi jika terus-terusan dilakukan,”
ucapnya.
Apa yang dikatakan Mugi Riyanto diiyakan oleh Bupati
Gunung Kidul, Badingah dimana bahwa rehabilitasi hutan harus dilakukan dengan
dua pendekatan yaitu social-ekonomi dan budaya, itu semua melibatkan
masyarakat.
Bupati Badingah juga mengatakan bahwa pihaknya terus
mendorongkan agar masyarakat di wilayahnya untuk melakukan pelestarian hutan
tentunya juga dengan sosialisasi dan penyadaran kepada masyarakat.
Sementara itu Seksi Pemanfaatan Hutan Dinas Kehutanan
dan Perkebunan Kabupaten Gunung Kidul, Taufik mengatakan puncak dari ketandusan
di wilayahnya terjadi pada tahun 1964 karena hutan dulunya terbuka untuk
ditanam kopi disaat pemerintahan Belanda namun hasilnya tidak sesuai harapan
pasar berujung ditinggal begitu saja lahan tersebut hingga menjadi kering.
Acara REDD+ Academy ini tidak hanya diikuti oleh para
jurnalis tetapi juga penggiat lingkungan hidup dari berbagai sector yang berada
di kawasan Asia Pasific.
REDD+ sendiri adalah program kolaborasi yang dibentuk
oleh PBB dalam usahanya mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan
(REDD) di negara-negara berkembang.
Program ini dibentuk pada tahun 2008 dan dibangun di
atas peran serta para ahli dari Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO), Badan
Program Pembangunan PBB (UNDP) dan Badan Program Lingkungan PBB (UNEP).
Program UN-REDD mendukung proses nasional yang
dipimpin REDD+ dan mempromosikan keterlibatan yang sarat informasi dan bermakna
dari semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat dan masyarakat yang
bergantung pada hutan lainnya, dalam implementasi REDD+ baik secara nasional
maupun internasional.