JAKARTA, – Presiden RI, Joko Widodo akan mengawali
debut pertamanya dalam forum internasional dengan menghadiri tiga acara
sekaligus dalam waktu bersamaan disorot oleh forum sipil.
Sebagaimana informasi yang diterima melalui email
mengatakan dengan debut perdana dalam forum internasional mempunyai arti
penting baru pemerintahan baru Indonesia dibawah kepemimpinan Joko Widodo yang
mengedepankan diplomasi pro-rakyat sekaligus mensinergikan cita-cita mewujudkan
Indonesia sebagai negara poros maritim.
Forum Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Luar Negeri
(Indonesia Civil Society Forum on Foreign Policy) mengapresiasi keputusan
Presiden Joko Widodo untuk menghadiri serangkaian pertemuan regional dan
internasional tersebut sebagai langkah awal mengimplementasikan politik luar
negeri yang mengabdikan diri pada kepentingan nasional sekaligus memperkenalkan
kepada dunia internasional bahwa Indonesia sedang mewujudkan cita-cita sebagai
negara poros maritim.
Namun demikian, kehadiran Presiden Joko Widodo di
forum regional dan internasional tersebut tak hanya sekedar sebagai wadah
perkenalan diri di komunitas internasional namun harus mampu mengkonkritkan
cita-cita diplomasi pro-rakyat dengan mengedepankan agenda kepentingan nasional
dalam memecahkan persoalan ekonomi Indonesia yang masih muram, memperkuat
posisi kemandirian politik luar negeri Indonesia serta menjadi pemimpin
negara-negara berkembang menghadapi dominasi dan hegemoni negara-negara maju
dan korporasi multi-nasional dan trans-nasional.
Walau ketiga forum regional dan internasional tersebut
memiliki agenda dan cakupan yang berbeda, namun orientasi dan tujuan ketiga
forum tersebut adalah mengintegrasikan kawasan Asia Tenggara dan Asia Pacific
sebagai kawasan ekonomi pasar bebas dan merumuskan tata kelola kebijakan
ekonomi global sebagai pemandunya.
Integrasi tersebut ditandai dengan kesamaan agenda
perundingan di tiga pertemuan tersebut yaitu liberalisasi perdagangan, investasi,
dan keuangan.
Agenda utama APEC adalah penyatuan perdagangan dan
ekonomi termasuk penyatuan konektivitas Asia Pasifik melalui infrastruktur.
ASEAN sedang giat menyiapkan Masyarakat Ekonomi ASEAN yang tinggal menghitung
hari. Sementara G20 menekankan pada pertumbuhan global sebesar 2% dalam lima
tahun ke depan.
Selama ini Indonesia memang aktif di tiga forum
tersebut. Bahkan sebelumnya di tahun 2013 Indonesia menjadi ketua pertemuan
APEC. Indonesia juga menjadi ketua Kelompok Kerja untuk Investasi dan Infrastruktur
di G20, termasuk menjadi ketua Kelompok Kerja Agenda Pembangunan G20.
Di forum ASEAN, Indonesia juga merupakan inisiator
dari proses reformasi ASEAN. Namun demikian, kehadiran Indonesia di forum-forum
tersebut tak lebih dari fasilitator atas kepentingan global baik di regional
maupun di dalam negeri.
Kebijakan tersebut tak pernah dirasakan manfaatnya
oleh rakyat Indonesia bahkan kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan dan
disetujui Indonesia mendatangkan kerentanan bagi rakyat Indonesia di semua
skctor.
Agenda-agenda liberalisasi ekonomi yang terkandung dan
dihasilkan forum APEC, ASEAN dan G20 direplikasi dalam produk kebijakan MP3EI
yang predatoris terhadap kaum tani, buruh, nelayan, perempuan dan masyarakat
adat serta menjadikan sumberdaya alam sebagai basis produksi yang secara nyata
telah menghancurkan ekologi setempat.
Selama masa pemerintahan SBY, tidak ada daya upaya
dari pemerintah Indonesia sebelumnya untuk tetap mengedepankan kepentingan
rakyat Indonesia menghadapi agenda-agenda liberalisasi tersebut.
Seharusnya kehadiran Indonesia di forum-forum tersebut
mempertimbangkan realitas ketidak adilan yang terjadi.
Proses ketimpangan yang terjadi di masyarakat
Indonesia yang sudah mencapai 0,41 menurut Indeks Gini.
Membanjirnya impor komoditas pertanian, kemerosotan
nilai tukar petani dan perampasan tanah memperburuk kehidupan petani. Nilai
tukar petani terus menurun periode Okt 2013 – Okt 2014 dari 105,30 poin menjadi
102,87 Poin.
Menyusutnya lahan pertanian membuat para petani
berubah profesi menjadi buruh, baik di kota-kota besar bahkan melintas negara
sebagai buruh migran.
Mengubah profesi juga belum pasti mengubah nasibnya.
Walau secara nominal upah meningkat setiap tahun namun tak mampu mengejar
lonjakan kebutuhan dan tuntutan hidup layak.
Bekerja di luar negeri juga dibayang-bayangi
kerentanan atas tindak kekerasan, perlakuan diskriminatif dan absennya peran
negara dalam diplomasi perlindungan.
Sektor lain yang juga rentan adalah sector informal.
Menurut BPS sector ini melimpah ruah jumlahnya karena tak tertampung di
lapangan kerja formal. Menurut ASPPUK, sector informal ini banyak diisi kaum
perempuan dan kerap terabaikan dalam skema perlindungan sosial.
Konsekuensi dari operasi ekonomi pasar bebas adalah
eksploitasi sumber daya alam yang bukan hanya menghasilkan kerusakan lingkungan
hidup tetapi juga menghilangkan sumber-sumber kehidupan masyarakat marginal,
seperti nelayan, masyarakat pesisir, masyarakat adat dan kaum perempuan.
Oleh karena itu, Forum Masyarakat Sipil Indonesia
untuk Kebijakan Global (ICFP) mengusulkan agar Presiden Joko Widodo mengubah
format dan langgam diplomasi Indonesia di forum APEC, ASEAN dan G20 yang
sebelumnya hanya menjadi pelancar suksesnya agenda-agenda liberalisasi ekonomi
menjadi negara yang mengedepankan kepentingan nasional dan negara-negara
berkembang atas dominasi dan hegemoni negara-negara maju dan korporasi
multinasional.
Selain itu juga didesak untuk mendorong adanya
pembangunan yang berkeadilan dengan menghargai HAM, keadilan dan kesetaraan
gender serta keadilan ekologis.
Secara konkrit, Presiden Joko Widodo hendaknya
menyuarakan agenda-agenda diplomasi pro-rakyat di tiga pertemuan tersebut
meliputi:
1.
Melindungi buruh migran Indonesia di luar negeri. Hingga saat ini buruh
migran Indonesia masih diabaikan dalam diplomasi Indonesia bahkan dilupakan
menjadi agenda yang harus diperjuangkan oleh Indonesia di Forum APEC, ASEAN dan
G20.
Padahal jika dilihat dari struktur kontribusi pembiayaan pembangunan,
remitansi buruh migran di kawasan Asia Pasifik (termasuk didalamnya kawasan
ASEAN) melonjak secara signifikan. Namun demikian perhatian terhadap
kesejahteraan dan perlindungan buruh migran sangat diabaikan.
2.
Memastikan perundingan perdagangan tidak merugikan masyarakat ekonomi
kecil dan menengah seperti petani, buruh, perempuan, anak dan nelayan.
Pemerintah tidak bisa serta merta membuka pasar di Indonesia tanpa terlebih
dahulu mamastikan masyarakat kecil mampu bersaing dengan pasar dengan kemampuan
yang cukup. Saat ini, sebagian besar petani di Indonesia adalah petani pemilik
lahan kurang dari 2 hektar dengan teknologi pertanian yang minim.
Menjadi sulit
ketika petani harus berhadapan dengan produk pertanian dari petani-petani di
negara lain yang sudah memiliki tekhnologi tinggi.
3.
Memastikan investasi dapat memperkuat ekonomi nasional dan menyediakan
lapangan kerja yang layak bagi semua dan memperkuat ekonomi nasional.
Data Bank
Indonesia menunjukkan dalam tiga tahun terakhir terjadi terjadi peningkatan
investasi sebesar 30%, namun hanya mampu menyerap tenaga kerja sebesar 1,14
juta orang di tahun 2012.
Jumlah angkatan kerja yang mampu diserap terus
menurun, namun investasi terus meningkat. Ini menunjukkan investasi belum
berhasil menciptakan lapangan kerja apalagi lapangan kerja yang layak bagi
semua.
4.
Memastikan kebijakan ekonomi seperti ekspor-impor dan investasi tidak
merusak lingkungan hidup dan bukan bagian dari matarantai suplai pemasok
komoditi yang menggerakkan perbudakan modern terhadap anak, buruh dan
perempuan.
Data menunjukkan ekspor Indonesia 26,7 % bergantung pada komoditas
bahan mentah khususnya produk perkebunan seperti sawit, mineral dan tambang
yang kesemua ini merusak lingkungan.
Beberapa produk komoditi ekspor Indonesia
diolah dari organisasi produksi yang masih mempekerjakan anak, membayar upah
buruh dibawah standar kelayakan serta tidak menghargai hak-hak perempuan.
5. Memastikan pemerintah Indonesia wajib
mempertahankan komitmennya memberlakukan laranangan ekspor untuk bahan mentah
(raw material), sesuai UU Minerba No 4/2009.
Kebijakan ini setidaknya sebagai
upaya mempromosikan pengolahan domestik dan meningkatkan kapasitas perekonomian
dari sisi penerimaan. Meskipun kebijakan ini selalu ditentang dalam fora
internasional, namun pemerintah wajib mengedepankan kebijakan yang
menguntungkan bangsa Indonesia.
6. Memperkuat kerjasama perpajakan dalam rangka
mencegah pelarian uang (illicit financial flow). Berdasarkan studi Global
Financial Integrity (GFI, 2013), diperkirakan sebanyak US$946,7 miliar di tahun
2011 aliran dana dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Total dana
keluar dari 2002 hingga 2011 mencapai US$5,9 trillion. Indonesia berada pada
posisi tujuh dari 15 negara berkembang yang mengalami kerugian paling besar
akibat praktek tersebut.
Tercatat sebanyak US$ 181,827 juta dana keluar dari
Indonesia selama sepuluh tahun dari 2002 hingga 2011. Salah satu modus illicit
financial flows adalah penghindaran pajak dan pelarian pajak.
7. Mengurangi ketergantungan Indonesia dengan utang
luar negeri terutama utang yang tidak menghormati HAM dan keberlanjutan
lingkungan.
Meskipun rasio utang luar negeri Indonesia terus menurun, tidak
berarti Indonesia leluasa membuka diri dengan utang-utang yang potensial
melanggar HAM dan merusak lingkungan terutama utang-utang yang bertujuan untuk
pembangunan infrastruktur.
8. Mendesak adanya kebijakan pendanaan iklim yang
melindungi negara berkembang dengan mendorong program Adaptasi Iklim. Selama
rejim SBY kebijakan REDD+ hanya menjawab problem negara maju yang dipimpin
Amerika dimana mereka tidak mau meratifikasi protokol Kyoto.
Jokowi haru berani
menghentikan proyek konservasi yang hanya menjawab kebutuhan negara maju
termasuk agenda blue carbon yang sedang digagas oleh negara maju dan dipaksakan
untuk dijalankan kepada negara berkembang harus dihentikan karena tidak
menjawab persoalan ancaman perubahan iklim di negara berkembang termasuk
Indonesia .
Komitmen SBY untuk menurunkan 26 %
emisi harus dievaluasi dan diarahkan pada perubahan dan kesiapan rakyat
beradaptasi terahdap iklim dengan memberikan subsidi terhadap jenis bibit yang
tahan terhadap cuaca, pun demikian dengan masyarakat pesisir akibat naikna
permukaan laut, nelayan yang tidak mampu melaut karena ancaman gelombang
tinggi.
9. Menolak kerjasama internasional dan investasi yang
mengedepankan pengadaan tanah skala luas untuk pertanian pangan, perkebunan,
kehutanan, pertambangan, perikanan dan proyek infrastruktur yang mengakibatkan
perampasan tanh-tanah masyarakat local (petani kecil, masyarakat adat dan
nelayan).
Investasi semacam ini bukan menciptakan lapangan kerja yang
dijanjikan, namun mengekslusi masyarakat dari tanah dan lapangan kerja mereka.
Investasi ini juga sangat jauh dari konsep pembangunan ekonomi perkelanjutan.
10. Menjadi pendorong kekuatan kelompok-kelompok
negara berkembang dan miskin untuk berhadapan dengan negara-negara maju dan
korporasi multinasional terutama dalam perundingan perubahan iklim, perundingan
perdagangan, juga perundingan lainnya.
Selain itu juga mendorong adanya
akuntabilitas di dalam semua perundingan internasional dengan melibatkan
stakeholder dalam persiapan perundingan internasional termasuk transparansi
dengan hasil-hasil perundingan.
Akuntabilitas penting untuk dilaksanakan karena
perundingan internasional berkaitan dengan kepentingan nasional dan kepentingan
semua unsur negara termasuk masyarakat. Sehingga perlu adanya partisipasi
multipihak dalam proses penyusunan agenda termasuk transparansi publik terhadap
hasil-hasil perundingan tersebut.
Agenda tersebut hendaknya diperjuangkan pemerintah
Indonesia dalam berbagai perundingan internasional sebagai bentuk nyata dari
diplomasi pro rakyat. Pada akhirnya, tujuan akhir dari perundingan
internasional adalah keadilan sosial dan perdamaian dunia.
Jakarta, 9 November 2014
Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Kebijakan Luar
Negeri (Indonesia Civil Society Forum on Foreign Policy/ICFP): INFID, IGJ,
WALHI, PWYP, WVI, PATTIRO, Migrant CARE, ASPPUK, Koalisi Perempuan Indonesia,
Bina Desa, KPA, TII, YAPPIKA, IHCS.