Banyak yang ga nyangka kalo
w adalah orang batak asli, bahkan ada bilang kalo w adalah orang China lah,
orang Makassar lah tapi bagus lah daripada w dibilang orang gila huahahahaha…
tapi emang benar w ini asli orang batak lahir
dari Bapak marga Simanjuntak Sitombuk PandeAek nomor 14 dan Ibu boru Hutabarat
Baginda Soalon nomor 17
Simanjuntak sendiri ada dua
SImanjuntak Pudi dan SImanjuntak Jolo, dan kalo dua Simanjuntak ini bertemu
dalam sebuah acara pasti selalu (maaf) sial hingga saat ini, kenapa bisa begitu
dan pengen tahu ini ada ceritanya dari beberapa orang tua termasuk bapak w
sendiri, selamat membaca
masyarakat batak diturunkan
oleh Sang Raja Batak (yang tidak diketahui asal muasalnya). Raja Batak ini
mempunyai anak, yang menurunkan marga Simanjuntak dan salah satunya bernama
Tuan Somanimbil.
Tuan Somanimbil mempunyai 3
orang anak: Somba Debata Siahaan, Raja Marsundung Simanjuntak, dan Tuan Maruji
Hutagaol. Raja Marsundung inilah yang nantinya menurunkan marga Simanjuntak.
Raja Marsundung Simanjuntak menikah
dengan seorang boru Hasibuan dan memiliki seorang anak laki2 bernama Raja
Parsuratan dan seorang anak perempuan bernama Sipareme
Di kampung itu Simanjuntak sangat
dikenal sebagai orang kaya yang mempunyai tanah yang luas dan seekor kerbau
sehingga dijuluki Simanjuntak Parhorbo.
suatu saat istrinya, yaitu Boru Hasibuan meninggal dunia dan Simanjuntak menjadi seorang duda. Atas saran keluarga, Simanjuntak mencari istri lagi dan akhirnya menikah dengan Boru Sihotang, walaupun anak laki-lakinya, Parsuratan tidak menyetujui pernikahan tersebut. Pada saat anaknya dari istri kedua ini lahir, Parsuratan menjadi semakin kesal karena merasa warisannya akan terbagi
Karena kesal, Parsuratan
akhirnya merencanakan pembunuhan terhadap adik tirinya ini sewaktu masih di
dalam kandungan. Namur usahanya tersebut gagal, karena berhasil diselamatkan
oleh keluarga Sihotang, walaupun ibu tirinya terluka.
Akhirnya anak pertama dari
Boru Sihotang ini lahir dengan selamat dan diberi nama Raja Mardaup Setelah
itu, Boru Sihotang masih melahirkan lagi 2 anak laki2, yaitu Raja Sitombuk dan
Raja Hutabulu. Selain itu dia masih mempunyai 2 anak perempuan, yaitu Si Boru
Hagohan Naindo dan Si Boru Naompon.
Pada saat anaknya masih
kecil, Raja Marsundung Simanjuntak meninggal dunia dengan meninggalkan warisan
tanah dan kerbau miliknya.
Walaupun sudah menerima
kehadiran adik-adiknya, Namur Parsuratan selalu berusaha untuk menyingkirkan
saudara2 tirinya tersebut agar warisan jatuh ke tangannya sendiri
Ketika itu, perang terjadi
dimana-mana, dan ada kebiasaan untuk membangun rumah ukiran, yang biasanya
ukirannya diwarnai dengan darah musuh hasil peperangannya. Namun karena
Parsuratan tidak pandai berperang, maka ia mencari cara untuk mendapatkan darah
saudara tirinya.
Suatu hari ia melihat
saudara perempuannya Sipareme sangat akrab dengan Si Boru Hagohan Naindo
sehingga hal tersebut ingin dimanfaatkannya. Memang yang bersikap memusuhi
hanya Parsuratan saja, sementara adik perempuannya akrab dengan saudara
tirinya. Kemudian ia memberikan gelang gading ke adiknya, Sipareme dan
menyuruhnya untuk memakainya. Namun di lain pihak, ia membayar orang untuk membunuh
gadis yang tidak memakai gelang, yaitu SI Boru Hahogan, sudara tirinya.
Namun keadaan berkata lain.
Pada saat malam hari, Sipareme meminjamkan gelang kepada Si Boru Hagohan yang
terpesona akan keindahan gelang tersebut. disaat bersamaan itulah pembunuh
datang dan membunuh gadis yang tidak memakai gelang, yaitu Sipareme. Pembunuhan
menjadi salah sasaran.
Menyaksikan kejahatan
Parsuratan yang timbul dari rasa benci, boru Sihotang akhirnya meninggal karena
tekanan batin. Namun sebelum meninggal, dirinya memberikan nasehat kepada
anaknya, yang isinya anaknya harus tetap menghormati abangnya, walaupun mereka
tahu abangnya itu licik dan jahat.
Karena kegagalan membunuh
tempo hari, Parsuratan selalu berusaha mencari jalan untuk membunuh adik
tirinya. Dan dengan cara licik, akhirnya Parsuratan berhasil mempermalukan dan
membunuh Si Boru Hagohan. Karena takut, adiknya, Si Boru Naompon minta
diantarkan ke kampung kakeknya, Raja Sihotang dan hidup disana.
Suatu hari salah satu adik
tirinya, Raja Hutabulu minta bagian warisannya ke Parsuratan, karena
peninggalan ayahnya dirasa cukup banyak. Dengan kelicikannya, Parsuratan
menyanggupi dengan syarat Hutabulu harus mampu membawa 2 bulan ke depannya. Hal
ini meresahkan Hutabulu, karena mana mungkin ia bisa membawa 2 buah bulan ke hadapan
Parsuratan.
Namun secara kebetulan. pada
saat bulan purnama, Hutabulu menimba air di sumur dan menemukan bayangan bulan
disana. Saat itulah ia memanggil Parsuratan dan menunjukkan 2 bulan kepadanya.
Parsuratan tak bisa mengelak lagi dan menyerahkan sebagian sawahnya. Namun
tetap dengan kelicikannya.
Karena ia anak dari istri
pertama, maka sawah bagiannya adalah di bagian depan yang dekat sumber air. Hal
ini sangat menguntungkannya, karena pada musim kemarau, yang dialiri air hanya
sawah bagiannya saja, sementara bagian adiknya tetap kering.
Kemudian untuk kerbau, pada
masa itu, untuk membagi warisan kerbau yang cuma seekor, biasanya orang di
daerah itu membagi dua kanan dan kiri, namun Parsuratan membagi depan dan
belakang. Ini juga menguntungkannya, karena saat dipakai membajak sawah, yang
dipasangi bajak adalah bagian depan kerbau. Sehingga adiknya tidak bisa
menggunakan kerbau itu untuk mengerjakan sawah bagiannya. Sementara pada saat
buang air, yang harus membersihkan adalah pemilik bagian belakang, yaitu adik tirinya.
Pada saat beranak karena kerbaunya
betina, maka anak kerbau adalah milik adik tirinya, karena keluar dari bagian
belakang. Dan adiknya menjadi kaya raya karena memiliki kerbau baru.
Sejak itulah dikenal sebutan
parhorbo jolo (kerbau depan) dan parhorbo pudi (kerbau belakang). Sampai
sekarang, kalau ketemu orang bermarga Simanjuntak, selalu ditanyakan apakah
mereka parhorbo jolo atau pudi (depan atau beakang).
Jaman dulu keturunan dari
parhorbo jolo dan pudi selalu bermusuhan, tidak pernah akur. Bahkan ada
beberapa cerita yang menyebutkan bahwa selalu terjadi kesialan bila keturunan
kedua pihak bertemu. Bila ada pesta, maka hidangannya yang disajikan akan basi, atau mentah,
atau keasinan, dll. Bila ada pesta adat yang dihadiri keduanya, maka akan
terjadi hujan, banjir, petir, angin ribut, dll.
Itulah sekelumit dari
dibalik marga Simanjuntak dan w bangga sebagai orang batak bermarga SIMANJUNTAK
Bekasi 071012