Minggu, 07 Oktober 2012

Cerita Dibalik Marga Simanjuntak


Banyak yang ga nyangka kalo w adalah orang batak asli, bahkan ada bilang kalo w adalah orang China lah, orang Makassar lah tapi bagus lah daripada w dibilang orang gila huahahahaha… tapi emang benar w ini asli orang batak  lahir dari Bapak marga Simanjuntak Sitombuk PandeAek nomor 14 dan Ibu boru Hutabarat Baginda Soalon nomor 17

Simanjuntak sendiri ada dua SImanjuntak Pudi dan SImanjuntak Jolo, dan kalo dua Simanjuntak ini bertemu dalam sebuah acara pasti selalu (maaf) sial hingga saat ini, kenapa bisa begitu dan pengen tahu ini ada ceritanya dari beberapa orang tua termasuk bapak w sendiri, selamat membaca

masyarakat batak diturunkan oleh Sang Raja Batak (yang tidak diketahui asal muasalnya). Raja Batak ini mempunyai anak, yang menurunkan marga Simanjuntak dan salah satunya bernama Tuan Somanimbil.

Tuan Somanimbil mempunyai 3 orang anak: Somba Debata Siahaan, Raja Marsundung Simanjuntak, dan Tuan Maruji Hutagaol. Raja Marsundung inilah yang nantinya menurunkan marga Simanjuntak.

Raja Marsundung Simanjuntak menikah dengan seorang boru Hasibuan dan memiliki seorang anak laki2 bernama Raja Parsuratan dan seorang anak perempuan bernama Sipareme

Di kampung itu Simanjuntak sangat dikenal sebagai orang kaya yang mempunyai tanah yang luas dan seekor kerbau sehingga dijuluki Simanjuntak Parhorbo.



suatu saat istrinya, yaitu Boru Hasibuan meninggal dunia dan Simanjuntak menjadi seorang duda. Atas saran keluarga, Simanjuntak mencari istri lagi dan akhirnya menikah dengan Boru Sihotang, walaupun anak laki-lakinya, Parsuratan tidak menyetujui pernikahan tersebut. Pada saat anaknya dari istri kedua ini lahir, Parsuratan menjadi semakin kesal karena merasa warisannya akan terbagi

Karena kesal, Parsuratan akhirnya merencanakan pembunuhan terhadap adik tirinya ini sewaktu masih di dalam kandungan. Namur usahanya tersebut gagal, karena berhasil diselamatkan oleh keluarga Sihotang, walaupun ibu tirinya terluka.

Akhirnya anak pertama dari Boru Sihotang ini lahir dengan selamat dan diberi nama Raja Mardaup Setelah itu, Boru Sihotang masih melahirkan lagi 2 anak laki2, yaitu Raja Sitombuk dan Raja Hutabulu. Selain itu dia masih mempunyai 2 anak perempuan, yaitu Si Boru Hagohan Naindo dan Si Boru Naompon.

Pada saat anaknya masih kecil, Raja Marsundung Simanjuntak meninggal dunia dengan meninggalkan warisan tanah dan kerbau miliknya.

Walaupun sudah menerima kehadiran adik-adiknya, Namur Parsuratan selalu berusaha untuk menyingkirkan saudara2 tirinya tersebut agar warisan jatuh ke tangannya sendiri

Ketika itu, perang terjadi dimana-mana, dan ada kebiasaan untuk membangun rumah ukiran, yang biasanya ukirannya diwarnai dengan darah musuh hasil peperangannya. Namun karena Parsuratan tidak pandai berperang, maka ia mencari cara untuk mendapatkan darah saudara tirinya.

Suatu hari ia melihat saudara perempuannya Sipareme sangat akrab dengan Si Boru Hagohan Naindo sehingga hal tersebut ingin dimanfaatkannya. Memang yang bersikap memusuhi hanya Parsuratan saja, sementara adik perempuannya akrab dengan saudara tirinya. Kemudian ia memberikan gelang gading ke adiknya, Sipareme dan menyuruhnya untuk memakainya. Namun di lain pihak, ia membayar orang untuk membunuh gadis yang tidak memakai gelang, yaitu SI Boru Hahogan, sudara tirinya.

Namun keadaan berkata lain. Pada saat malam hari, Sipareme meminjamkan gelang kepada Si Boru Hagohan yang terpesona akan keindahan gelang tersebut. disaat bersamaan itulah pembunuh datang dan membunuh gadis yang tidak memakai gelang, yaitu Sipareme. Pembunuhan menjadi salah sasaran.

Menyaksikan kejahatan Parsuratan yang timbul dari rasa benci, boru Sihotang akhirnya meninggal karena tekanan batin. Namun sebelum meninggal, dirinya memberikan nasehat kepada anaknya, yang isinya anaknya harus tetap menghormati abangnya, walaupun mereka tahu abangnya itu licik dan jahat.

Karena kegagalan membunuh tempo hari, Parsuratan selalu berusaha mencari jalan untuk membunuh adik tirinya. Dan dengan cara licik, akhirnya Parsuratan berhasil mempermalukan dan membunuh Si Boru Hagohan. Karena takut, adiknya, Si Boru Naompon minta diantarkan ke kampung kakeknya, Raja Sihotang dan hidup disana.

Suatu hari salah satu adik tirinya, Raja Hutabulu minta bagian warisannya ke Parsuratan, karena peninggalan ayahnya dirasa cukup banyak. Dengan kelicikannya, Parsuratan menyanggupi dengan syarat Hutabulu harus mampu membawa 2 bulan ke depannya. Hal ini meresahkan Hutabulu, karena mana mungkin ia bisa membawa 2 buah bulan ke hadapan Parsuratan.

Namun secara kebetulan. pada saat bulan purnama, Hutabulu menimba air di sumur dan menemukan bayangan bulan disana. Saat itulah ia memanggil Parsuratan dan menunjukkan 2 bulan kepadanya. Parsuratan tak bisa mengelak lagi dan menyerahkan sebagian sawahnya. Namun tetap dengan kelicikannya.

Karena ia anak dari istri pertama, maka sawah bagiannya adalah di bagian depan yang dekat sumber air. Hal ini sangat menguntungkannya, karena pada musim kemarau, yang dialiri air hanya sawah bagiannya saja, sementara bagian adiknya tetap kering.

Kemudian untuk kerbau, pada masa itu, untuk membagi warisan kerbau yang cuma seekor, biasanya orang di daerah itu membagi dua kanan dan kiri, namun Parsuratan membagi depan dan belakang. Ini juga menguntungkannya, karena saat dipakai membajak sawah, yang dipasangi bajak adalah bagian depan kerbau. Sehingga adiknya tidak bisa menggunakan kerbau itu untuk mengerjakan sawah bagiannya. Sementara pada saat buang air, yang harus membersihkan adalah pemilik bagian belakang, yaitu adik tirinya.

Pada saat beranak karena kerbaunya betina, maka anak kerbau adalah milik adik tirinya, karena keluar dari bagian belakang. Dan adiknya menjadi kaya raya karena memiliki kerbau baru.

Sejak itulah dikenal sebutan parhorbo jolo (kerbau depan) dan parhorbo pudi (kerbau belakang). Sampai sekarang, kalau ketemu orang bermarga Simanjuntak, selalu ditanyakan apakah mereka parhorbo jolo atau pudi (depan atau beakang).

Jaman dulu keturunan dari parhorbo jolo dan pudi selalu bermusuhan, tidak pernah akur. Bahkan ada beberapa cerita yang menyebutkan bahwa selalu terjadi kesialan bila keturunan kedua pihak bertemu. Bila ada pesta, maka hidangannya yang disajikan akan basi, atau mentah, atau keasinan, dll. Bila ada pesta adat yang dihadiri keduanya, maka akan terjadi hujan, banjir, petir, angin ribut, dll.

Itulah sekelumit dari dibalik marga Simanjuntak dan w bangga sebagai orang batak bermarga SIMANJUNTAK


Bekasi 071012